[MALAY] Vali Amr Muslimeen Ayatullah Ali Khamenei - HAJJ Message 2011
Pesan Ayatollah Sayyid Ali Khamenei
Pemimpin tertinggi Republik Islam Iran
kepada Para Jamaah Haji beitollah-il-Haram
1432 Hijriah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد...
Pesan Ayatollah Sayyid Ali Khamenei
Pemimpin tertinggi Republik Islam Iran
kepada Para Jamaah Haji beitollah-il-Haram
1432 Hijriah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و صلوات الله و تحياته علي سيد الانام محمد المصطفي و آله الطيبين و صحبه المنتجبين
Musim semi haji sudah tiba dengan kesegaran dan suasana spritual dan kecemerlangan dari Allah SWT, dan hati orang-orang beriman dengan keinginan yang amat besar akan terbang disekitar Ka\'bah ketuhanan dan kesatuan. Mekkah, Mina, Mash\'ar dan Arafat merupakan tempat para manusia beruntung yang merespon suara :
((و اذن في الناس بالحج ...))
berarti ajaklah manusia untuk pergi haji, dan hadir di jamuan Allah yang maha pengampun. Tempat suci ini adalah rumah keselamatan dan pusat hidayah yang ayat-ayat ilahi bersinar padanya dan payung perlindungan juga diperluas di atas kepala semua.
Bersihkan hati anda semua di dalam Zamzam Safa, zikir dan rendah hati; bukalah mata batin dengan ayat-ayat terang Allah; pilihlah ikhlas dan berserah diri yang merupakan tanda pengabdian hakiki; ulangilah berkali-kali cerita seorang ayah yang membawa anaknya Ismail ke tempat korban, dan kemudian mengenal jalan cerah dan terang yang telah dibuka untuk mencintai Allah yang Maha Kuasa, dan masuklah ke dalam jalan itu dengan usaha dan keinginan beriman dan niat jujur.
Magom Ibrahim adalah salah satu dari ayat-ayat tersebut. Tempat kaki Ibrahim a.s. di samping Ka\'bah suci merupakan satu satunya tanda magom Ibrahim. Magom Ibrahim adalah tempat ikhlas, ampunan dan pengorbanan; tempat istigomah terhadap keinginan hawa nafsu dan kecintaan ayah terhadap anaknya dan juga terhadap kekuasaan kafir dan syirik dan kekuatan namrud masa.
Dua jalan penyelamat ini sekarang terbuka di hadapan kita seluruh umat islam. Usaha, keberanian dan keinginan yang kuat dari kita semua dapat mengarahkan kita ke sasaran dan tujuan yang dibimbing oleh para Nabi mulai dari Adam sampai dengan Nabi Terakhir dan menjanjikan kemuliaan dan keberuntungan untuk para pengikut mereka.
Di hadapan Umat Islam yang amat mulia ini, sebaiknya para jamaah haji memperhatikan maslah-masalah penting dunia islam. Sekarang masalah yang paling pokok adalah kerusuhan dan revolusi di berbagai negara islam. Selama musim haji tahun lalu dan tahun ini terjadi beberapa kejadian di dunia Islam dimana kejadian-kejadian tersebut dapat merubah nasib umat islam dan menyampaikan kabar gembira tentang masa depan yang cemerlang, penuh kemuliaan, kemajuan material dan spritual. Di Mesir, Tunisia dan Libya, para diktator bejat yang mempunyai ketergantungan sudah jatuh dari takhta kekuasaan dan di beberapa negara islam lain juga gelombang-gelombang kerusuhan rakyat mengancam istana-istana kekuatan dan kekayaan mereka.
Lembaran baru sejarah umat ini telah terbuka, menyampaikan kebenaran tentang ayat-ayat terang ilahiah yang memberikan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga. Kebenaran-kebenaran tersebut harus diimplementasikan dalam seluruh masalah bangsa-bangsa muslim.
Pertama, kini di tengah bangsa-bangsa yang sudah puluhan tahun berada di bawah kekuasaan asing, hidup suatu generasi muda yang mengambil resiko dengan penuh percaya diri dalam menghadapi para adi daya dan kemudian mulai berani berusaha merubah situasi.
Hal lain adalah bahwa meskipun adanya para penguasa sekular, dan usaha mereka untuk menghapuskan agama di Negara-negara tersebut, islam dengan pengaruhnya memberikan kecemerlangannya, seperti mata air segar dalam ucapan, perkataan dan perbuatan tumpukan-tumpukan manusia, telah mampu menjadi pembimbing hati dan lisan di Negara-negara tersebut, dan juga menghayati komunitas-komunitas dan perilaku mereka. Tempat-tempat adzan, mushala-mushala, takbir-takbir dan slogan-slogan islami adalah tanda terang dari kebenaran tersebut dan juga pemilihan umum akhir-akhir ini di Tunisia merupakan argumentasi sekaligus jawaban terhadap tuntutan tersebut. Tanpa keraguan, pemilihan umum yang bebas di setiap Negara Islam bisa menghasilkan layaknya demikian sebagaimana yang dihasilkan di Tunisia.
Satu hal lagi adalah bahwa dalam kejadian satu tahun terakhir ini, telah ditunjukkan bahwa Allah yang maha kuasa memberikan kekuasaan kepada bangsa-bangsa sehingga tak seorangpun dapat menghalanginya. Bangsa-bangsa itu dengan kekuatan ilahi mampu merubah nasib mereka sendiri untuk mencapai kemenangan ilahi.
Pemerintahan-pemerintahan adidaya khususnya Amerika Serikat, yang selama puluhan tahun dengan kebijakan politik dan militernya, mengabdikan negara-negara kawasan dan melakukan penjajahan ekonomi, budaya dan politik terhadap bagian sensitif dari dunia ini, kini dibenci oleh bangsa-bangsa kawasan tersebut. Kita harus yakin bahwa sistem-sistem baru hasil revolusi-revolusi ini tidak akan menjadi seperti sistem-sistem sebelumnya dan peta politik kawasan ini akan dibentuk dan digambarkan oleh bangsa mereka sendiri dengan orientasi kemuliaan dan kemerdekaan penuh mereka.
Hal lain adalah bahwa ciri munafik para adidaya barat telah dikenal oleh masyarakat negara-negara kawasan. Amerika Serikat dan Eropa dalam kasus Mesir, Tunisia dan Libya berusaha mendukung oknum-oknum mereka sendiri dan ketika bangsa-bangsa itu sudah berhasil, maka para adidaya itu memperlihatkan diri dengan kebohongan sebagai teman dan sahabat bangsa-bangsa yang sudah menghasilkan kemenangan itu.
kebenaran-kebenaran berharga dan ayat-ayat terang ilahiah, hasil kejadian-kejadian setahun terakhir di kawasan ini adalah lebih dari yang sudah dijelaskan dan orang-orang ahli siasat dapat melihat dan memahami kebenaran-kebenaran tersebut.
Akan tetapi kini seluruh umat islam, khususnya bangsa-bangsa yang sudah bangkit, memerlukan dua unsur pokok:
Pertama, melanjutkan untuk tetap istiqamah dan menghindari melemahnya keinginan. Berdasarkan firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW:
((فاستقم كما امرت و من تاب معك و لا تطغوا))
و ((فلذلك فادع واستقم كما امرت))
, dan juga dari lisan Nabi Musa a.s. :
((و قال موسي لقومه استعينوا بالله واصبرو، ان الارض لله يورثها من يشاء من عباده و العاقبه للمتقين))
Ketaqwaan terbesar untuk bangsa-bangsa yang sudah bangkit adalah bahwa jangan sampai terhentikan, dan jangan terbuai dengan keberhasilan-keberhasilan sementara yang telah diperoleh selama ini. Ini adalah bagian terpenting dari ketaqwaan yang telah Allah SWT anugerahkan yaitu masa depan yang cemerlang.
Kedua, kesadaran terhadap tipu-daya para negara adidaya-adikuasa sombong yang telah mengalami kerugian karena pemberontakan dan revolusi tersebut. Mereka tidak akan pernah diam dan dengan kekuatan politik, militer dan keuangannya akan memulai mempengaruhi negara-negara itu. Modal ataupun alat yang mereka gunakan adalah menyuap, mengancam dan menipu. Berdasarkan pengalaman, di antara orang-orang elit juga ada yang mudah ditipu dan disuap sehingga mereka mau tidak mau melayani musuh karena ketakutan, kerakusan dan jebakan. Oleh karena itu, para pemuda, para cendekiawan dan ulama harus lebih sadar.
Resiko yang amat berbahaya adalah campur tangan dan pengaruh barisan kafir dan sombong dalam pembentukan sisem politik baru di negara-negara ini. Mereka akan berusaha keras sehingga sistem-sistem baru itu tidak dibentuk berdasarkan identitas islami dan rakyat. Orang-orang yang menyukai negaranya dan memikirkan kemuliaan, harkat dan martabat dan kemajuan negaranya harus berusaha keras agar sistem-sistem baru ini dibentuk penuh berdasarkan keislaman dan kerakyatan. Peranan undang-undang dasar mereka itu adalah sangat penting. Persatuan nasional dan pengakuan agama, suku dan etnis di negaranya adalah syarat kemenangan mereka di masa depan.
Bangsa-bangsa berani yang telah berusaha bangkit di Mesir, Tunisia dan Libya dan bangsa-bangsa pejuang lainnya harus mengetahui bahwa satu satunya jalan penyelamat dari kezaliman dan tipuan Amerika Serikat dan para adi daya sombong itu adalah terwujudnya keseimbangan kekuasaan di dunia sesuai dengan kepentingan mereka. Jika para muslim ingin menyelesaikan permasalahannya dengan para adikuasa dunia harus menjadi sebagai negara besar dari segi kekuasaan, dan hal tersebut tidak dapat tercapai kecuali dengan kerja sama, persahabatan dan persatuan negara-negara islam. Ini merupakan wasiat Imam Khomeini, yang tak dapat terlupakan. Amerika Serikat dan NATO hanya dengan alasan mencari khadafi sang diktator kotor Libya itu, mengebom Libya dan rakyatnya selama beberapa bulan. Khadafi adalah seorang yang, sebelum revolusi bangsa Libya, merupakan sahabat Amerika Serikat dan NATO, mereka memeluknya, mencuri kekayaan Libya dengan berpura-pura mencium tanggannya. Setelah terjadinya revolusi, mereka dengan alasan mencari khadafi, menghancurkan semua infrastruktur Libya. Negara mana yang dapat mencegah pembunuhan massa dan kerusakan Libya oleh NATO? Jika tangan para adidaya barat yang begitu kejam tidak dipotong, lalu kita selalu akan melihat ancaman-ancaman itu terhadap negara-negara islam dan keluar dari ancaman tersebut tidak dapat terwujud kecuali membentuk kubu kuat dunia islam.
Kini barat, Amerika Serikat dan Zionis lebih lemah dibandingkan dengan sebelumnya. Banyak permasalahan ekonomi, kekalahan terus menerus di Afghanistan dan Irak, demonstrasi besar besaran masyarat Amerika Serikat dan negara-negara barat lain yang semakin hari semakin tersebar, perjuangan masyarakat Palestina dan Lebanon, revolusi dengan penuh keberanian masyarakat Yaman, Bahrain dan berbagai negara lain di bawah pengaruh Amerika Serikat, semuanya merupakan kabar gembir untuk umat islam khususnya negara-negara revolusioner baru. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang beriman di seluruh dunia khususnya di Mesir, Tunisia dan Libya harus lebih memanfaatkan kesempatan ini dengan tujuan pembentukan kekuasaan internasional islami. Orang-orang elite dan juga para garis depan revolusioner itu sebaiknya berserah diri kepada Allah SWT dan percaya pada janji kemenangannya dan juga menghiasi lembaran baru sejarah umat islam ini dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji yang diridhai oleh Allah SWT dan menjadi lingkup kemenanganNya.
والسلام علي عبادالله الصالحين
Sayyid Ali Khamenei
29 Dzulqa\'dah 1432
More...
Description:
Pesan Ayatollah Sayyid Ali Khamenei
Pemimpin tertinggi Republik Islam Iran
kepada Para Jamaah Haji beitollah-il-Haram
1432 Hijriah
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين و صلوات الله و تحياته علي سيد الانام محمد المصطفي و آله الطيبين و صحبه المنتجبين
Musim semi haji sudah tiba dengan kesegaran dan suasana spritual dan kecemerlangan dari Allah SWT, dan hati orang-orang beriman dengan keinginan yang amat besar akan terbang disekitar Ka\'bah ketuhanan dan kesatuan. Mekkah, Mina, Mash\'ar dan Arafat merupakan tempat para manusia beruntung yang merespon suara :
((و اذن في الناس بالحج ...))
berarti ajaklah manusia untuk pergi haji, dan hadir di jamuan Allah yang maha pengampun. Tempat suci ini adalah rumah keselamatan dan pusat hidayah yang ayat-ayat ilahi bersinar padanya dan payung perlindungan juga diperluas di atas kepala semua.
Bersihkan hati anda semua di dalam Zamzam Safa, zikir dan rendah hati; bukalah mata batin dengan ayat-ayat terang Allah; pilihlah ikhlas dan berserah diri yang merupakan tanda pengabdian hakiki; ulangilah berkali-kali cerita seorang ayah yang membawa anaknya Ismail ke tempat korban, dan kemudian mengenal jalan cerah dan terang yang telah dibuka untuk mencintai Allah yang Maha Kuasa, dan masuklah ke dalam jalan itu dengan usaha dan keinginan beriman dan niat jujur.
Magom Ibrahim adalah salah satu dari ayat-ayat tersebut. Tempat kaki Ibrahim a.s. di samping Ka\'bah suci merupakan satu satunya tanda magom Ibrahim. Magom Ibrahim adalah tempat ikhlas, ampunan dan pengorbanan; tempat istigomah terhadap keinginan hawa nafsu dan kecintaan ayah terhadap anaknya dan juga terhadap kekuasaan kafir dan syirik dan kekuatan namrud masa.
Dua jalan penyelamat ini sekarang terbuka di hadapan kita seluruh umat islam. Usaha, keberanian dan keinginan yang kuat dari kita semua dapat mengarahkan kita ke sasaran dan tujuan yang dibimbing oleh para Nabi mulai dari Adam sampai dengan Nabi Terakhir dan menjanjikan kemuliaan dan keberuntungan untuk para pengikut mereka.
Di hadapan Umat Islam yang amat mulia ini, sebaiknya para jamaah haji memperhatikan maslah-masalah penting dunia islam. Sekarang masalah yang paling pokok adalah kerusuhan dan revolusi di berbagai negara islam. Selama musim haji tahun lalu dan tahun ini terjadi beberapa kejadian di dunia Islam dimana kejadian-kejadian tersebut dapat merubah nasib umat islam dan menyampaikan kabar gembira tentang masa depan yang cemerlang, penuh kemuliaan, kemajuan material dan spritual. Di Mesir, Tunisia dan Libya, para diktator bejat yang mempunyai ketergantungan sudah jatuh dari takhta kekuasaan dan di beberapa negara islam lain juga gelombang-gelombang kerusuhan rakyat mengancam istana-istana kekuatan dan kekayaan mereka.
Lembaran baru sejarah umat ini telah terbuka, menyampaikan kebenaran tentang ayat-ayat terang ilahiah yang memberikan pelajaran-pelajaran yang sangat berharga. Kebenaran-kebenaran tersebut harus diimplementasikan dalam seluruh masalah bangsa-bangsa muslim.
Pertama, kini di tengah bangsa-bangsa yang sudah puluhan tahun berada di bawah kekuasaan asing, hidup suatu generasi muda yang mengambil resiko dengan penuh percaya diri dalam menghadapi para adi daya dan kemudian mulai berani berusaha merubah situasi.
Hal lain adalah bahwa meskipun adanya para penguasa sekular, dan usaha mereka untuk menghapuskan agama di Negara-negara tersebut, islam dengan pengaruhnya memberikan kecemerlangannya, seperti mata air segar dalam ucapan, perkataan dan perbuatan tumpukan-tumpukan manusia, telah mampu menjadi pembimbing hati dan lisan di Negara-negara tersebut, dan juga menghayati komunitas-komunitas dan perilaku mereka. Tempat-tempat adzan, mushala-mushala, takbir-takbir dan slogan-slogan islami adalah tanda terang dari kebenaran tersebut dan juga pemilihan umum akhir-akhir ini di Tunisia merupakan argumentasi sekaligus jawaban terhadap tuntutan tersebut. Tanpa keraguan, pemilihan umum yang bebas di setiap Negara Islam bisa menghasilkan layaknya demikian sebagaimana yang dihasilkan di Tunisia.
Satu hal lagi adalah bahwa dalam kejadian satu tahun terakhir ini, telah ditunjukkan bahwa Allah yang maha kuasa memberikan kekuasaan kepada bangsa-bangsa sehingga tak seorangpun dapat menghalanginya. Bangsa-bangsa itu dengan kekuatan ilahi mampu merubah nasib mereka sendiri untuk mencapai kemenangan ilahi.
Pemerintahan-pemerintahan adidaya khususnya Amerika Serikat, yang selama puluhan tahun dengan kebijakan politik dan militernya, mengabdikan negara-negara kawasan dan melakukan penjajahan ekonomi, budaya dan politik terhadap bagian sensitif dari dunia ini, kini dibenci oleh bangsa-bangsa kawasan tersebut. Kita harus yakin bahwa sistem-sistem baru hasil revolusi-revolusi ini tidak akan menjadi seperti sistem-sistem sebelumnya dan peta politik kawasan ini akan dibentuk dan digambarkan oleh bangsa mereka sendiri dengan orientasi kemuliaan dan kemerdekaan penuh mereka.
Hal lain adalah bahwa ciri munafik para adidaya barat telah dikenal oleh masyarakat negara-negara kawasan. Amerika Serikat dan Eropa dalam kasus Mesir, Tunisia dan Libya berusaha mendukung oknum-oknum mereka sendiri dan ketika bangsa-bangsa itu sudah berhasil, maka para adidaya itu memperlihatkan diri dengan kebohongan sebagai teman dan sahabat bangsa-bangsa yang sudah menghasilkan kemenangan itu.
kebenaran-kebenaran berharga dan ayat-ayat terang ilahiah, hasil kejadian-kejadian setahun terakhir di kawasan ini adalah lebih dari yang sudah dijelaskan dan orang-orang ahli siasat dapat melihat dan memahami kebenaran-kebenaran tersebut.
Akan tetapi kini seluruh umat islam, khususnya bangsa-bangsa yang sudah bangkit, memerlukan dua unsur pokok:
Pertama, melanjutkan untuk tetap istiqamah dan menghindari melemahnya keinginan. Berdasarkan firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW:
((فاستقم كما امرت و من تاب معك و لا تطغوا))
و ((فلذلك فادع واستقم كما امرت))
, dan juga dari lisan Nabi Musa a.s. :
((و قال موسي لقومه استعينوا بالله واصبرو، ان الارض لله يورثها من يشاء من عباده و العاقبه للمتقين))
Ketaqwaan terbesar untuk bangsa-bangsa yang sudah bangkit adalah bahwa jangan sampai terhentikan, dan jangan terbuai dengan keberhasilan-keberhasilan sementara yang telah diperoleh selama ini. Ini adalah bagian terpenting dari ketaqwaan yang telah Allah SWT anugerahkan yaitu masa depan yang cemerlang.
Kedua, kesadaran terhadap tipu-daya para negara adidaya-adikuasa sombong yang telah mengalami kerugian karena pemberontakan dan revolusi tersebut. Mereka tidak akan pernah diam dan dengan kekuatan politik, militer dan keuangannya akan memulai mempengaruhi negara-negara itu. Modal ataupun alat yang mereka gunakan adalah menyuap, mengancam dan menipu. Berdasarkan pengalaman, di antara orang-orang elit juga ada yang mudah ditipu dan disuap sehingga mereka mau tidak mau melayani musuh karena ketakutan, kerakusan dan jebakan. Oleh karena itu, para pemuda, para cendekiawan dan ulama harus lebih sadar.
Resiko yang amat berbahaya adalah campur tangan dan pengaruh barisan kafir dan sombong dalam pembentukan sisem politik baru di negara-negara ini. Mereka akan berusaha keras sehingga sistem-sistem baru itu tidak dibentuk berdasarkan identitas islami dan rakyat. Orang-orang yang menyukai negaranya dan memikirkan kemuliaan, harkat dan martabat dan kemajuan negaranya harus berusaha keras agar sistem-sistem baru ini dibentuk penuh berdasarkan keislaman dan kerakyatan. Peranan undang-undang dasar mereka itu adalah sangat penting. Persatuan nasional dan pengakuan agama, suku dan etnis di negaranya adalah syarat kemenangan mereka di masa depan.
Bangsa-bangsa berani yang telah berusaha bangkit di Mesir, Tunisia dan Libya dan bangsa-bangsa pejuang lainnya harus mengetahui bahwa satu satunya jalan penyelamat dari kezaliman dan tipuan Amerika Serikat dan para adi daya sombong itu adalah terwujudnya keseimbangan kekuasaan di dunia sesuai dengan kepentingan mereka. Jika para muslim ingin menyelesaikan permasalahannya dengan para adikuasa dunia harus menjadi sebagai negara besar dari segi kekuasaan, dan hal tersebut tidak dapat tercapai kecuali dengan kerja sama, persahabatan dan persatuan negara-negara islam. Ini merupakan wasiat Imam Khomeini, yang tak dapat terlupakan. Amerika Serikat dan NATO hanya dengan alasan mencari khadafi sang diktator kotor Libya itu, mengebom Libya dan rakyatnya selama beberapa bulan. Khadafi adalah seorang yang, sebelum revolusi bangsa Libya, merupakan sahabat Amerika Serikat dan NATO, mereka memeluknya, mencuri kekayaan Libya dengan berpura-pura mencium tanggannya. Setelah terjadinya revolusi, mereka dengan alasan mencari khadafi, menghancurkan semua infrastruktur Libya. Negara mana yang dapat mencegah pembunuhan massa dan kerusakan Libya oleh NATO? Jika tangan para adidaya barat yang begitu kejam tidak dipotong, lalu kita selalu akan melihat ancaman-ancaman itu terhadap negara-negara islam dan keluar dari ancaman tersebut tidak dapat terwujud kecuali membentuk kubu kuat dunia islam.
Kini barat, Amerika Serikat dan Zionis lebih lemah dibandingkan dengan sebelumnya. Banyak permasalahan ekonomi, kekalahan terus menerus di Afghanistan dan Irak, demonstrasi besar besaran masyarat Amerika Serikat dan negara-negara barat lain yang semakin hari semakin tersebar, perjuangan masyarakat Palestina dan Lebanon, revolusi dengan penuh keberanian masyarakat Yaman, Bahrain dan berbagai negara lain di bawah pengaruh Amerika Serikat, semuanya merupakan kabar gembir untuk umat islam khususnya negara-negara revolusioner baru. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang beriman di seluruh dunia khususnya di Mesir, Tunisia dan Libya harus lebih memanfaatkan kesempatan ini dengan tujuan pembentukan kekuasaan internasional islami. Orang-orang elite dan juga para garis depan revolusioner itu sebaiknya berserah diri kepada Allah SWT dan percaya pada janji kemenangannya dan juga menghiasi lembaran baru sejarah umat islam ini dengan perbuatan-perbuatan yang terpuji yang diridhai oleh Allah SWT dan menjadi lingkup kemenanganNya.
والسلام علي عبادالله الصالحين
Sayyid Ali Khamenei
29 Dzulqa\'dah 1432
Imam Khomeiny über Imam as-Sadr (سید روح الله خمینی wموسى الصدر) - German
Im Jahre 1960 ging er in den Süden des Libanon, um als Nachfolger des drei Jahre zuvor verschiedenen Sayyid Abdalhussain Scharaffuddin al-Musawi die Position als islamisches Oberhaupt der dortigen...
Im Jahre 1960 ging er in den Süden des Libanon, um als Nachfolger des drei Jahre zuvor verschiedenen Sayyid Abdalhussain Scharaffuddin al-Musawi die Position als islamisches Oberhaupt der dortigen Schiiten zu übernehmen. Er begann sich dann, zusätzlich zu den religiösen Themen, auch für die Bedingungen des Lebens im Allgemeinen, insbesondere aber im sozialen Bereich, der armen Bevölkerung zu interessieren. 1969 wurde der Hohe Islamische Schiitische Rat gegründet und Sayyid as-Sadr wurde für eine Amtszeit von 6 Jahren als ihr Präsident gewählt und wurde allgemein als "Imam" bekannt. Anfang 1975 wurde er für eine weitere Amtsperiode, die bis zu seinem 65 Lebensjahr angedauert hätte (bis zum 15. Mai 1993) wieder gewählt.
Imam Mussa as-Sadr gründete viele soziale Institutionen, Berufsschulen, Krankenhäuser und Zentren zur Bekämpfung des Analphabetentums. Seine Aktivitäten gewannen an nationaler Aufmerksamkeit, als er auf die Gefahr eines Angriffs Israels gegen den Südlibanon hinwies, dessen Bevölkerung zum größten Teil Schiiten waren. Um jedoch zu verhindern, dass dieser Kampf spalterische Zielsetzungen annahm, richtete er 1971 ein Komitee ein, dass alle südlibanesischen geistlichen Oberhäupter einschloss (sowohl Muslime als auch Christen), um politischen und sozialen Aktivitäten effektiver nachgehen zu können.
Am 18. März 1974 leitete er eine Serie von Protestaktionen gegen die Vernachlässigung der Regierung von ländlichen Gebieten ein und gründete "Die Bewegung der Entrechteten", dessen Parole "kontinuierlicher Kampf bis es keine Entrechteten mehr im Libanon gibt" war. Während des Bürgerkriegs gründete er die Amal-Bewegung, die "Brigaden des libanesischen Widerstandes", ein militärisch ausgerichteter Flügel der "Bewegung der Entrechteten", welche zusammen mit der "Libanesischen Nationalen Bewegung" und dem "Palästinensischen Widerstand" gegen das Projekt der Aussiedlung der Palästinenser in den Libanon kämpfte.
Imam as-Sadr war nun bei allen geistlichen und politischen Lagern hoch geachtet, besonders aber bei den Christen aufgrund seiner Offenheit gegenüber ihnen. 1960 gründete er zusammen mit dem katholischen Erzbischof Grigoire Haddad die "Soziale Bewegung", nahm an dem Islamisch-Christlichen Dialog 1962 teil und hielt während der Osterfeierlichkeiten eine Rede in einer kapuzinischen Kirche eines christlichen Ordens. Er erlernte viele Sprachen und war ein bekannter Intellektueller. Imam Mussa as-Sadr spielte eine überaus wichtige Rolle in der libanesischen Politik.
Schließlich verschwand er Ende August 1978 während einer Reise durch den Libyen und wurde nie wieder gesehen. Seine Anhänger, die zunächst auf eine Art Verborgenheit hofften, machten dann später Ghaddafi für das Verschwinden verantwortlich.
More...
Description:
Im Jahre 1960 ging er in den Süden des Libanon, um als Nachfolger des drei Jahre zuvor verschiedenen Sayyid Abdalhussain Scharaffuddin al-Musawi die Position als islamisches Oberhaupt der dortigen Schiiten zu übernehmen. Er begann sich dann, zusätzlich zu den religiösen Themen, auch für die Bedingungen des Lebens im Allgemeinen, insbesondere aber im sozialen Bereich, der armen Bevölkerung zu interessieren. 1969 wurde der Hohe Islamische Schiitische Rat gegründet und Sayyid as-Sadr wurde für eine Amtszeit von 6 Jahren als ihr Präsident gewählt und wurde allgemein als "Imam" bekannt. Anfang 1975 wurde er für eine weitere Amtsperiode, die bis zu seinem 65 Lebensjahr angedauert hätte (bis zum 15. Mai 1993) wieder gewählt.
Imam Mussa as-Sadr gründete viele soziale Institutionen, Berufsschulen, Krankenhäuser und Zentren zur Bekämpfung des Analphabetentums. Seine Aktivitäten gewannen an nationaler Aufmerksamkeit, als er auf die Gefahr eines Angriffs Israels gegen den Südlibanon hinwies, dessen Bevölkerung zum größten Teil Schiiten waren. Um jedoch zu verhindern, dass dieser Kampf spalterische Zielsetzungen annahm, richtete er 1971 ein Komitee ein, dass alle südlibanesischen geistlichen Oberhäupter einschloss (sowohl Muslime als auch Christen), um politischen und sozialen Aktivitäten effektiver nachgehen zu können.
Am 18. März 1974 leitete er eine Serie von Protestaktionen gegen die Vernachlässigung der Regierung von ländlichen Gebieten ein und gründete "Die Bewegung der Entrechteten", dessen Parole "kontinuierlicher Kampf bis es keine Entrechteten mehr im Libanon gibt" war. Während des Bürgerkriegs gründete er die Amal-Bewegung, die "Brigaden des libanesischen Widerstandes", ein militärisch ausgerichteter Flügel der "Bewegung der Entrechteten", welche zusammen mit der "Libanesischen Nationalen Bewegung" und dem "Palästinensischen Widerstand" gegen das Projekt der Aussiedlung der Palästinenser in den Libanon kämpfte.
Imam as-Sadr war nun bei allen geistlichen und politischen Lagern hoch geachtet, besonders aber bei den Christen aufgrund seiner Offenheit gegenüber ihnen. 1960 gründete er zusammen mit dem katholischen Erzbischof Grigoire Haddad die "Soziale Bewegung", nahm an dem Islamisch-Christlichen Dialog 1962 teil und hielt während der Osterfeierlichkeiten eine Rede in einer kapuzinischen Kirche eines christlichen Ordens. Er erlernte viele Sprachen und war ein bekannter Intellektueller. Imam Mussa as-Sadr spielte eine überaus wichtige Rolle in der libanesischen Politik.
Schließlich verschwand er Ende August 1978 während einer Reise durch den Libyen und wurde nie wieder gesehen. Seine Anhänger, die zunächst auf eine Art Verborgenheit hofften, machten dann später Ghaddafi für das Verschwinden verantwortlich.
Ayatollah Ruhollah al Khomeyni (ra) - Ein kurzer Ausschnitt aus seinem Leben - German
Ayatollah Ruhollah Khomeini (ra) - A snippet from his life.
Ayatollah Seyyed Ruhollah Musavi Khomeini wurde am 24. September 1902 in der Stadt Khomein geboren. Khomeini liegt 160 km...
Ayatollah Ruhollah Khomeini (ra) - A snippet from his life.
Ayatollah Seyyed Ruhollah Musavi Khomeini wurde am 24. September 1902 in der Stadt Khomein geboren. Khomeini liegt 160 km südwestlich von Qum. Er stammte aus einer sehr religiös gebildeten Familie. Seine Vorfahren, Nachkommen von Imam Musa Kazim (dem 7. Imam), migrierten im 18. Jahrhundert von ihrer Heimat Neyshabur (Provinz in Khorasan) nach Nord-Indien. Dort lebten sie als Bauern und widmeten sich den religiösen Fragen der dortigen Shia-Gemeinde zu.
Imam Khomeinis Großvater, Seyyed Ahmad, verließ Indien und ging nach Najaf zum Grab von Imam Ali. Dort traf er Yusuf Khan, einen berühmten Bürger von Khomeini. Yusuf Khan bat ihn nach Khomeini zu kommen und sich um die dortige Gemeinde zu kümmern. Seyyed Ahmad nahm die Einladung an und zog nach Khomein. Dort heiratete er die Tochter von Yusuf Khan, mit der er zwei gesunde Kinder zeugte. Seine Tochter hieß Sahiba und sein Sohn Seyyed Mostafa (wurde 1885 geboren). Seyyed Mostafa, der Vater von Imam Khomeini, begann früh mit dem Studium des Islams. Er studierte in Isfahan, Najaf und Samarra. Nach seinem Studium kehrte Seyyed Mostafa nach Khomein zurück und heiratete Hajar, die Mutter von Imam Khomeini. Im März 1903 verlor der erst 5 Monate alte Imam Khomeini seinen Vater. 1918 starben seine Tante Sahiba und seine Mutter Hajar. Die Verantwortung für Imam Khomeini, übernahm sein älterer Bruder Seyyed Morteza (der später unter dem Namen Ayatollah Pasandideh bekannt wurde).
Imam Khomeini begann sein Islam-Studium mit dem Auswendiglernen des heiligen Qurans in einem Maktab (religiösen Schule). 1923 ging der Imam nach Qum, wo er sein Studium fortsetzte. Er erwarb sich durch seine Bücher und seinen Urteilen viel Respekt unter den Gelehrten. Bald akzeptierte man ihn als Quelle der Nachahmung (Marja al-Taqlid). Im Winter 1962 kam er zu einer Gesetzesänderungen im Iran. Die gewählten Politiker sollten fortan bei ihrer Amtseinführung, nicht mehr auf den Quran schwören. Daraufhin schrieb Imam Khomeini eine Nachricht an den damaligen König des Irans, Mohammad Reza Shah und dem Premierminister des Landes. Er warnte sie die Gesetze des Islams aus der Verfassung von 1907 zu streichen. Die Ulama (die islamischen Gelehrten) würden solche Verfassungsänderungen nicht akzeptieren und eine Protestkampagne starten.
Im Januar 1963 stellte der Shah unter dem Druck der USA sein Sechs-Punkte-Programm vor, die sogenannte Weiße Revolution. Dieses Programm sollte dem Iran verwestlichen und ein liberaleres Gesicht verleihen. Imam Khomeini veranstaltete ein Treffen in Qum, um die Lage mit den Gelehrten zu bereden. Sie beschlossen Ayatollah Kamalvand zum Shah zu schicken, damit sie sich ein Bild von den Absichten des Shahs machen konnten. Der Shah war zu keinem Kompromiss bereit und wollte sein Sechs-Punkte-Programm durchziehen. Daraufhin schrieb Imam Khomeini einen sehr kritischen Artikel über den Shah. Zwei Tage später antwortete der Shah zurück und beleidigte die Ulama (Gelehrten) von Qum. Imam Khomeini gab nicht nach und sammelte Unterschriften von Gelehrten gegen den Shah und seine Pläne. Er kritisierte die Ausbreitung der Unmoral und warf dem Shah vor, die Politik von den USA und Israel auszuführen.
weiterlesen: http://al-shia.de/persoenlichkeiten/khomeini.htm
More...
Description:
Ayatollah Ruhollah Khomeini (ra) - A snippet from his life.
Ayatollah Seyyed Ruhollah Musavi Khomeini wurde am 24. September 1902 in der Stadt Khomein geboren. Khomeini liegt 160 km südwestlich von Qum. Er stammte aus einer sehr religiös gebildeten Familie. Seine Vorfahren, Nachkommen von Imam Musa Kazim (dem 7. Imam), migrierten im 18. Jahrhundert von ihrer Heimat Neyshabur (Provinz in Khorasan) nach Nord-Indien. Dort lebten sie als Bauern und widmeten sich den religiösen Fragen der dortigen Shia-Gemeinde zu.
Imam Khomeinis Großvater, Seyyed Ahmad, verließ Indien und ging nach Najaf zum Grab von Imam Ali. Dort traf er Yusuf Khan, einen berühmten Bürger von Khomeini. Yusuf Khan bat ihn nach Khomeini zu kommen und sich um die dortige Gemeinde zu kümmern. Seyyed Ahmad nahm die Einladung an und zog nach Khomein. Dort heiratete er die Tochter von Yusuf Khan, mit der er zwei gesunde Kinder zeugte. Seine Tochter hieß Sahiba und sein Sohn Seyyed Mostafa (wurde 1885 geboren). Seyyed Mostafa, der Vater von Imam Khomeini, begann früh mit dem Studium des Islams. Er studierte in Isfahan, Najaf und Samarra. Nach seinem Studium kehrte Seyyed Mostafa nach Khomein zurück und heiratete Hajar, die Mutter von Imam Khomeini. Im März 1903 verlor der erst 5 Monate alte Imam Khomeini seinen Vater. 1918 starben seine Tante Sahiba und seine Mutter Hajar. Die Verantwortung für Imam Khomeini, übernahm sein älterer Bruder Seyyed Morteza (der später unter dem Namen Ayatollah Pasandideh bekannt wurde).
Imam Khomeini begann sein Islam-Studium mit dem Auswendiglernen des heiligen Qurans in einem Maktab (religiösen Schule). 1923 ging der Imam nach Qum, wo er sein Studium fortsetzte. Er erwarb sich durch seine Bücher und seinen Urteilen viel Respekt unter den Gelehrten. Bald akzeptierte man ihn als Quelle der Nachahmung (Marja al-Taqlid). Im Winter 1962 kam er zu einer Gesetzesänderungen im Iran. Die gewählten Politiker sollten fortan bei ihrer Amtseinführung, nicht mehr auf den Quran schwören. Daraufhin schrieb Imam Khomeini eine Nachricht an den damaligen König des Irans, Mohammad Reza Shah und dem Premierminister des Landes. Er warnte sie die Gesetze des Islams aus der Verfassung von 1907 zu streichen. Die Ulama (die islamischen Gelehrten) würden solche Verfassungsänderungen nicht akzeptieren und eine Protestkampagne starten.
Im Januar 1963 stellte der Shah unter dem Druck der USA sein Sechs-Punkte-Programm vor, die sogenannte Weiße Revolution. Dieses Programm sollte dem Iran verwestlichen und ein liberaleres Gesicht verleihen. Imam Khomeini veranstaltete ein Treffen in Qum, um die Lage mit den Gelehrten zu bereden. Sie beschlossen Ayatollah Kamalvand zum Shah zu schicken, damit sie sich ein Bild von den Absichten des Shahs machen konnten. Der Shah war zu keinem Kompromiss bereit und wollte sein Sechs-Punkte-Programm durchziehen. Daraufhin schrieb Imam Khomeini einen sehr kritischen Artikel über den Shah. Zwei Tage später antwortete der Shah zurück und beleidigte die Ulama (Gelehrten) von Qum. Imam Khomeini gab nicht nach und sammelte Unterschriften von Gelehrten gegen den Shah und seine Pläne. Er kritisierte die Ausbreitung der Unmoral und warf dem Shah vor, die Politik von den USA und Israel auszuführen.
weiterlesen: http://al-shia.de/persoenlichkeiten/khomeini.htm